Kasus Audit pada PT KAI
arum
Januari 26, 2020
0 Comments
Suatu
perusahaan berkewajiban menerapkan GCG (Good Corporate Governance) khususmya
BUMN. Berdaasarkan kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan
Publik, dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih belum
sepenuhnya diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil
keputusan stratejik. Penyebab lainnya adalah pemahaman pemegang saham atas GCG
yang masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas
proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang
sangat menarik. Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh
PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
Kasus
PT KAI ini merupakan kasus pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diduga
terjadi manipulasi data keuangan pada tahun 2005, perusahaan BUMN tercatat
meraih laba sebesar Rp 6,9 Miliar, padahal apabila diteliti lebih rinci
perusahaan BUMN ini mencatat kerugian sebesar Rp 63 Miliar. Kasus ini bermula
akibat adanya pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pada tahun 2005 laporan keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah
dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak terdapat
kejanggalan dalam penyajian laporan keuangan seperti data yang disajikan tidak
sesuai dengan standar akuntansi. Ini menimbulkan permasalahan, karena
auditor menyatakan opini LaporanWajar Tanpa Pengecualian, tidak ada
penyimpangan dari standar akuntansi yang telah ditetapkan. Laporan keuangan PT
KAI diaudit oleh kantor akuntan publik sejak tahun 2004, namun berbeda dengan
tahun sebelumnya dimana pihak BPK terlibat dalam sebagai auditor PT KAI.
Analisis :
1.
Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan
kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya
telah diberikan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan pada
tahun 1998-2005
2.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan
statusnya sebesar RP 674,5 Milyar dan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp
70 miliar oleh manajemen PT KAI dalam neraca per 31 Desember 2005 merupakan
bagian dari hutang. Akan tetapi pendapat berbeda dikemukakan Komisaris PT KAI
Hekinus Manao bahwa bantuan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian
dari modal perseroan.
3.
Terjadi penurunan niali persediaan suku cadang
dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat melakukan
investarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugan bertahap
selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang
belum dibebankan sebagai kerugian sebesar R p 6 Miliar, yang seharusnya
dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4.
Masalah piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai
RP 95,2 Miliar, menurut komite audit harus dicadangkan penghapusannya pada
tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya tetapi tidak dilakukan oleh
manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.
5.
Masalah uang muka gaji yang dibayar sebesar Rp
28 Milyar merupakan gaji bulan Januari 2006 dan seharusnya yang dibayar tanggal
1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai
uang muka biaya gaji menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005
6.
Masalah persediaan dalam perjalanan berkaitan
dengan pengalihan persediaan suku cadang sebesar Rp 1,4 Milyar. Kemudian
dialihkan kepada ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI, akan tetapi belum
selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, Komite Audit menyatakan hal
ini telah bebas pada tahun 2005.
Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan
PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang
seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan
masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan
komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan
laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut
diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Selain beberapa hal teknis
tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah
pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1.
Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses
audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal.
2.
Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan
auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
3.
Manajemen (termasuk auditor internal) tidak
melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4.
Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan
keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya
manajemen merasa tidak yakin.
Beberapa aktifitas bisnis PT.
Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari adalah :
1. Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan
Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum dipahami dan disepakati
dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance
and Operation, TAC : Track Access Charges)
2. Transaksi masa sebelumnya yang masih belum
terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan)
3. Perubahan peraturan pemerintah (termasuk
peraturan perpajakan)
4.
Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun
Pegawai
5.
RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan
“Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan keikutsertaan swasta
Dampak Kasus
Manipulasi
data dalam pelaporan keuangan PT KAI tahun 2005, dalam laporan kinerja keuangan
yang diterbitkan, perusahaan mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp 60,90
Milyar telah diraih. Padahal sebenarnya perusahaan menderita kerugian sebesar
RP 69,3 Milyar. Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api telah tiga tahun
tidak menagih pendapatan. Padahal berdasarkan standar akuntansi keuangan,
perusahaan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan tansaksi atau perubahan keuangan telah
terjadi selama tahun 2005. Penurunan milai persediaan suku cadang dan
perlengkapan sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada saat dilakukan
investasinya tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap
selama lima tahun.
Kesimpulan :
Dewan Komisaris merupakan suatu
dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang
juru bicara yang mengatsanamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan
komisaris memiliki satu suara Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan
adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir
dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat.
Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk
memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi
yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG
yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh
informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan
memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Sesuai dengan SA 380, Komunikasi
Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan
bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit
sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api
salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat
pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat
kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
Referensi :